Gayonese Documentary, Saat sang fajar menghampiri tanoh ku, saatnya aku beserta Ama Ine bersiap untuk mengunjungi mu.
“Apa kabar? Sudah lama kita tak bertemu, kalian masih berdiri dengan gagah beserta hijau rimbun daunnya. Buah mungil bulat kecil-kecil ilang ijo warnamu. O iya, bagaimana dengan Sesongot?, hahaa ulat cantik berduri dan nakal yang menempel di daun mu ini pernah menyentuh kulit tanganku yang membuatku menangis kesakitan, lalu Ama memetik daun mu yang ditempeli sesongot dan melipatnya kemudian mengusapkan cairan dari ulat itu ke tanganku dan… ajaib rasa sakitnya berkurang dan menghilang dalam beberapa detik.” Itulah sedikit cerita ketika libur kuliah yang lalu.
Kopi adalah komoditas utama di tanoh ku. Tanaman ini tumbuh subur di dataran tinggi Gayo. Dibutuhkan waktu 2,5-3 tahun bibit kopi untuk tumbuh sehingga bisa dipanen buah merahnya. Ada beberapa fase dalam proses kopi sebelum menjadi minuman yang meneduhkan. Masyarakat yang berada diluar tanoh Gayo umumnya hanya mengetahui kopi dengan sebutan kopi, baik itu kopi yang masih hijau, sudah merah atau yang sudah di proses. Namun masyarakat Gayo memiliki istilah khusus penamaan kopi dalam setiap prosesnya.
Pertama, Bunge yaitu pertumbuhan bunga yang harum dan khas berwarna putih pada ranting kopi. Kedua, Mutik yaitu buah Baby kopi yang telah tampak setelah penyerbukan bunga, buahnya kecil berwarna hijau. Ketiga, Ijo yaitu Baby kopi yang telah tumbuh menjadi ukuran yang lebih besar dan masih berwarna hijau, belum bisa dipanen ya. Keempat, Ilang yaitu buah hijau kopi yang telah matang dan berubah warna menjadi merah. Kelima, Gelondong yaitu buah kopi yang sudah dipetik dan masih belum diproses atau masih berkulit merah. Keenam, Gabah yaitu sebutan untuk buah kopi yang telah melalui proses penggilingan mesin, pemisahan antara kulit merah dan buah dalamnya. Ketujuh, Labu yaitu buah kopi yang telah di jemur dan juga telah di pisahkan dari kulit arinya dengan menggunakan mesin. Kedelapan, kupi besele yaitu saatnya kopi dipanggang dan merubah warnanya menjadi hitam serta mulai mengeluarkan aromanya yang khas. Kesembilan, Bubuk kupi yaitu kupi besele yang sudah dihaluskan menjadi bubuk.
Setelah melalui beberapa proses diatas, jadilah Kupi Gayo yang siap untuk diminum. Kupi Gayo tak hanya dikonsumsi oleh masyarakat Gayo, tetapi sudah merambat ke daerah-daerah lain di Indonesia bahkan Internasional. Rasa bangga dengan mata berbinar dan hati yang senang menghampiriku ketika pertama kali aku menginjaki tanah rantau, sering ku temui kedai-kedai kopi yang bertuliskan Kupi Gayo di tempat perantauan ku. O iya tak hanya itu, ketika aku berbelanja ke supermarket yang ada di Medan, tampak beberapa tulisan bermerek kupi Gayo di deretan produk-produk bubuk kopi yang ada disana. Kupi Gayo juga sudah sering tampak di stasiun televisi ternama di Indonesia dan Lagunya juga sudah ada yang dikarang oleh penyanyi keren dari Tanoh Gayo Ervan Ceh Kul.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan anak-anak Gayo adalah bahwa kopi merupakan salah satu identitas dari kita. Walaupun sekarang tidak banyak atau tidak semua dari orang tua kita yang bekerja sebagai petani kopi, namun jauh sebelum orang tua kita yaitu nenek moyang adalah petani-petani kopi hebat yang telah melahirkan orang-orang hebat. Kopi menjadi saksi tentang keringat mereka yang bercucuran, mendengar hela nafas dari lelahnya, tiba di kebun kopi saat embun masih menyelimuti bukit-bukit di tanoh ku serta kembali kerumah saat matahari akan tenggelam dan melihat senyum bahagianya saat kopi telah siap panen. Semoga Kupi Gayo ku tak pernah berhenti mengiringi kesuksesan anak-anak Gayo. Tumbuh suburlah engkau. Terimakasih Kupi Gayoku!.[]
Penulis bernama lengkap Wike Yurida beralamat di Angkup, Takengon, Kabupaten Aceh Tengah (Email: wikeyurida6@gmail.com).
Keren… Kupi Gayo!