Pro Kontra Wisata “Aih Rebe” di Gayo Lues

0
1987
Sumber: Khairul Abdi

Gayonese Documentary, Gayo Lues – Indonesia terkenal dengan keindahan dan banyaknya tempat wisata yang tersedia, mulai dari wisata alam, wisata bangunan dan wisata sejarah. Terlebih di Aceh menyediakan riatusan tempat wisata yang menarik daya minat pelancong baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Gayo Lues yang terkenal dengan julukan  seribu bukit juga tidak terlepas perannya memberikan keindahan alam yang dapat di nikmati para wisatawan. Objek wisata memang banyak sekali memberikan kontribusi dalam pertumbuhan perekonomian dalam suatu daerah, oleh karena itu pemerintah berlomba-lomba memperbanyak objek wisata didaerahnya guna untuk menambah devisit pendapatan pertahunnya.

Beralih dari pembahasan di atas salah satu objek wisata yang di bangun di kampung Rerebe, Kecamatan Tripe Jaya, Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Menarik untuk kita perhatikan dan kita bahas bersama dan juga menuai Pro dan Kontra atas pembangunan jalan setapak tersebut.

Bagaimana tidak, masyarakat yang berada di wilayah yang akan di bangun distinasi wisata tersebut tidak setuju dan merasa resah karena beberapa alasan. Dalam pembangunan tersebut ada tiga desa yang menolak diantaranya Desa Rerebe, Kuala Jernih dan Desa Buntul Musara.

Informasi dari salah satu asli putra daerah Desa Kuala Jernih (Desa Hasil Pemekaran dari Desa Rerebe) Khairul Abdi (Acir) mempertanyakan atas pembangunan distinasi wisata itu. menurutnya terlaksana hanya demi kepentingan pejabat atau demi kepentingan kontraktor yang telah memberikan fee proyek sebelumnya.

“Anehnya, sudah jelas bahwa masyarakat tiga desa telah menolak dan bahkan telah membuat surat pernyataan menolak yang ditujukan kepada Dinas Pariwisata Gayo Lues yang ditanda tangani oleh tiga Gecik (Pengulu), tiga Ketua Pemuda, Mukim dan Camat Kecamatan Tripe Jaya, akan tetapi sangat disesalkan surat penolakan tersebut tidak diindahkan dan malahan kabarnya telah dimulai pekerjaan proyek tersebut,” terang mahasiswa aktif Prodi Ilmu Hukum tersebut.

Sumber foto: Khairul Abdi

Khairul Abdi melanjutkan pembangunan distinasi wisata tersebut sangatlah didukung oleh masyarakat, buktinya distinasi wisata Kolam Biru Rerebe tidak ada masalah sejak dibangun sampai sekarang. Akan tetapi kali ini masyarakat meyuarakan menolak dikarenakan tempat yang akan dibangun jalan setapak itu untuk dijadikan distinasi wisata merupakan sumber mata air bersih yang menyaluri tiga desa juga merupakan sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Higro Mini (PLTMH) menerangi 8 desa dalam Kecamatan Tripe Jaya.

“Surat izin yang seharusnya ada baik dari izin lahan dan izin membangun tidak pernah dipublikasikan ke masyarakat dan terakhir masyarakat menyakini bahwa tempat tersebut mengandung hal mistis atau dalam bahasa Gayo disebut dengan “aulie”,” katanya dalam keterangan tertulis.

“Dengan jumlah penduduk dari 3 desa tersebut jumlah keseluruhan 1861 jiwa dan 495 KK jika di persentasekan 93% masyarakat tidak setuju, lantas 7% lagi setuju dikarenakan pemborong proyek tersebut merupakan putra daerah Rerebe juga. Lalu kenapa  tetap dibangun? Dikarenakan masyarakat disana tidak berani untuk mengambil tindakan apalagi konflik sesama putra daerah. Disinilah seharusnya peran pemerintah untuk mengambil jalan tengah,” lanjut Khairul, yang juga mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Pemuda dan Pelajar Tripe Jaya (IMADA TRIJA)

Sumber: Khairul Abdi

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Aceh (WALHI-ACEH) M. Nur menanggapi permasalahan tersebut.

“Pemerintah  harus memperhatikan penolakan yang di lakukan oleh masyarakat, karena penilaian masyarakat pembangunan jalan setapak tersebut belum di butuhkan,” katanya (28/10) kemarin.

Menurutnya pemerintah tidak hanya melihat Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 2018, tetapi juga tidak mengabaikan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup. Untuk itu, ia berharap agar pembangunan dalam kawasan hutan harus mematuhi peraturan perundang-undangan, untuk memperoleh izin dalam hal pembangunan sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 27 tahun 2012 tentang izin lingkungan dan NOMOR P.27/Menlhk/Setjen/ Kum.1/6/2018 tetang pedoman pinjam pakai kawasan hutan.

“Yang terpenting dari persoalan ini, masyarakat mengkhawatirkan rusaknya sumber mata air bersih sebagai sumber kehidupan, hitungan cepat kami ada  1800+ jiwa yang membutuhkan air saat ini,” jelasnya.

Sumber: Khairul Abdi

Segala kebijakan pasti memiliki Pro dan Kontra, dari sini mari kita kaji dan pelajari bersama kepantingan manakah yang perlu diutamakan.

Sejauh ini kerjasama dengan Walhi Aceh dan KPH V telah dibangun oleh Khairul Abdi, pihaknya atas nama Pemuda dan Mahasiswa RKBM khususnya Kecamatan Tripe Jaya umumnya akan terus berjuang dan mencari bantuan baik lembaga berbadan hukum maupun tidak.[Aspirasi]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here