Gayonese Documentary, Gayo merupakan daerah/suku yang terletak di bagian tengah Provinsi Aceh yang terdiri dari Kabupaten Gayo Lues (Blangjeren), Aceh Tengah (Takengon), Bener Meriah (Simpang 3 Redelong) dan Aceh Tenggara (Kutacane) dan Aceh Timur (Lukup, Serbejadi) dimana mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Bahasa gayo merupakan alat perhubungan dalam masyarakat gayo dalam mengungkapkan perasaan individual dan juga sebagai sarana penalaran, seperti dalam acara – acara adat sinte murip (perkawinan) dan sinte mate (kematian). Gayo memiliki kearifan khas daerah seperti pakaian adat gayo, melengkan, kesenian gayo, tawar kampung dan lain-lain yang mendarah daging dari nenek moyang yang telah lalu.
Pakaian Adat Gayo
Pakaian adat gayo merupakan identitas budaya gayo yang selalu dipakai dalam acara tertentu seperti acara perkawinan, sunatan dan acara-acara tertentu lainnya. Kerawang adalah ukiran pada rumah Adat Gayo “Pitu Ruang”, yang kemudian motifnya diadopsi kedalam barang-barang kerajinan khas Gayo yang dibuat bordir Kerawang memiliki corak yang khas seperti warna merah-kuning-hijau (ilang-using-ijo), dimana mempunyai makna filosofi yang dalam dari setiap ukiran dan bentuknya.
Melengkan
Melengkan adalah pidato secara adat dengan menggunakan kata pilihan. Contoh (dalam teks berikut). Osop Berperah,Taring Berai “Hilang Dicari, Tinggal Dijemput”. Dengan kata lain melengkan adalah pidato secara adat yang digunakan pada kegiatan adat, seperti pidato adat melengkan pada acara mah bai/beru “mengunduh menantu” dari pihak laki-laki atau perempuan, berguru(malam pemberian nasihat kepada calon pengantin) dan sunat rasul. Hal ini biasanya dilaksanakan ileh jema Opat “kekusasaan yang empat” adalah pemegang tampuk kekuasaan di dalam tatanan pemerintahan etnik Gayo.
Kesenian Gayo
Masyarakat gayo memiliki beragam kesenian diantaranya Saman, Didong, Bines, Tari Guel, tari dan kesesian-kesenian lainnya yang telah disebar luaskan ke seluruh antero, bahkan salah satu kesenian yang diakui oleh dunia adalah SAMAN yang berasal dari Gayo Lues.
Tari Saman diciptakan oleh Syekh Saman, seorang ulama yang berasal dari Gayo. Tarian ini digunakan sebagai penyebar agama islam di gayo melalui keseian. Saman hanya dimainkan oleh laki-laki dan berjumlah ganjil, Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Gayo. Tarian ini biasa dimainkan pada acara-acara besar tertentu seperti merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW, hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha dan juga beberapa acara besar lainnya. Tahun 2017 yang lalu Kabupaten Gayo Lues memecahkan rekor muri dunia dengan menarikan saman berjumlah 10.000 lebih penari.
Langkah-langkah dalam bermain tari saman dibagi dalam 5 macam :
- Rengum: auman yang diawali oleh pengangkat.
- Dering: regnum yang segera diikuti oleh semua penari.
- Redet: lagu singkat dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada bagian tengah tari.
- Syek: lagu yang dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi melengking, biasanya sebagai tanda perubahan gerak.
- Saur: lagu yang diulang bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari solo.
Tari Bines merupakan bentuk tarian yang dimainkan oleh perempuan berjumlah 20-14 orang dengan gerakan mengayunkan tangan dan diikuti irama gerakan badan serta alunan lagu-lagu Gayo yang di bawakan oleh salah satu penari. Mereka menyanyikan syair yang berisikan dakwah atau informasi pembangunan. Para penari melakukan gerakan dengan perlahan kemudian berangsur-angsur menjadi cepat dan akhirnya berhenti seketika secara serentak. Tari ini juga merupakan bagian dari tari Saman saat penampilannya. Hal yang menarik dari tari Bines adalah beberapa saat mereka diberi uang oleh pemuda dari desa undangan dengan menaruhnya diatas kepala perempuan yang menari.
Didong merupakan suatu kesenian yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Kesenian ini diperkenalkan pertama kali oleh Abdul Kadir To`et. Pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. Para ceh didong (seniman didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang sesuai dengan Islam. Dalam didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam ber-didong para ceh tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita religius tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu serta berperilaku baik. Pendek kata, seorang ceh adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihan di segala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam. Didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari besar Agama Islam.
Tari Guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di NAD. Guel berarti membunyikan. Khususnya di daerah dataran tinggi gayo, tarian ini memiliki kisah panjang dan unik. Para peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan hanya sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri. Dalam perkembangannya, tari Guel timbul tenggelam, namun Guel menjadi tari tradisi terutama dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya apresiasi terhadap wujud alam, lingkungan kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan irama. Tari ini adalah media informatif. Kekompakan dalam padu padan antara seni satra, musik/suara, gerak memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan pola pikir masyarakat setempat. Guel tentu punya filosofi berdasarkan sejarah kelahirannya.
Tari Mesekat merupakan tarian yang dibawakan oleh anak-anak sampai orang dewasa secara berkelompok dengan posisi berbaris, sepertinya halnya orang shalat saat membaca tahayatul akhir. Dalam tarian biasanya yang dipilih menjadi imam adalah kadi atau she yang nantinya menjadi panutan dalam gerak dan syair yang dibacakan secara serentak dan serasi dan dilaksanakan dengan irama shalawat dan qasidah. Tari mesekat melahirkan suatu karya seni yang sifatnya klasik tradisional, cara membawakannya harus dengan menghafal dari berbagai ragam atau dengan cara berurutan. Dalam permainanya peserta memakai baju adat dengan jumlah pemain minimal 18 orang.
Tawar Kampung
Tawar kampun merupakan adat yang telah turun temurun dari nenek moyang Konon tradisi ini dipercaya dapat mengusir marabahaya dan dapat memberikan kesejukan suasana dalam masyarakat kampung. Hal ini disebabkan dalam pelaksanaannya dibutuhkan biaya lumayan gadang. Karena, dalam pelaksaan semacam ritual ini masyarakat setempat akan melakukan pemotongan hewan kerbau. Untuk mencapai inilah, seluruh penduduk desa akan patungan alias memberi pungutan dari semua kepala keluarga. “Kegiatan tawar kampung mencerminkan kekompakan masyarakat masih tinggi,” terang. Dalam peroses acara, kerbau yang akan disembelih terlebih dahulu diarak keliling kampung secara beramai-ramai dengan membawa tawar (daun kayu). Rupanya, perosesi itu, menjadi lambang kesejukan di sekeliling kampung yang ditawar. Selanjutnya dilakukan masak dan makan bersama di menasah dan setelah itu masyarakat setempat memohon pada Tuhan, agar memberikan kesejahteraan, kesejukan serta kesuburan lahan pertanian yang akan bermanfaat bagi masyarakat.[]
Penulis adalah Alimin, beralamat domisili Kp. Kendawi, Kec. Dabun Gelang, Kab. Gayo Lues. (Email: aliminalimin896@gmail.com).
tulisannya bagus akan tetapi perlu dilengkapi, terlihat pada sinte murip tebagi 2 yaitu acar perkawinan dan sunatan tetapi di artikelnya hanya menyebutkan kawin saja terimakasih