“Di posisi tengah tempat para tokoh yang duduk melingkar tersebut, tampak dua buah nampan yang berisi perlengkapan pengantin seperti baju, kerudung dan sepatu”
Gayonese Documentary – Perempuan yang mengenakan pakaian gamis putih berkerudung biru itu duduk berselimut Upuh Ulen-Ulen, yaitu kain berbentuk persegi panjang dengan ukiran jahitan khas Kerawang Gayo. Perempuan ini dengan khidmat mendengarkan nasehat pernikahan yang biasa disebut Ejer Muarah oleh masyarakat suku Gayo. Ejer Muarah ini disampaikan oleh Imem (tokoh agama di wilayah tersebut).
Malam itu juga duduk melingkar tiga serangkai aparat Desa Tebes Lues, Kecamatan Bies, Aceh Tengah, yang terdiri dari Ama Reje (Kepala Desa), Imem (Imam) dan Petue (orang yang dituakan), duduk secara khusus di atas ampang beralaskan tikar. Juga hadir dari keluarga besar ayahanda dan ibunda calon mempelai. Demikian juga anggota masyarakat ramai menghadiri acara malam berguru tersebut.
Di wilayah Dataran Tinggi Gayo, setiap ritual pernikahan (Sinte Mungerje) selalu diawali dengan acara “berguru”. Acara yang sudah turun temurun dijalankan oleh masyarakat Gayo ini. Prosesi adat ini biasanya dilakukan pada malam hari, sebelum si calon pengantin melaksanakan akad nikah pada keesokan harinya.
“Sepapah mi kou sepupu sebegi seperange. Tepatmi langit i junjung kou rata mi bumi i roroh kou, langitmu enti penah mu gegur, bumimu enti penah mu geumpa. (Hendaklah kalian rukun dan saling menyayangi, tepatlah langit kalian junjung, ratalah tanah kalian pijak, langitmu tidak pernah berguntur, bumimu tidak pernah bergeumpa),” kata Imem, Tgk Hamdani, saat menyampaikan Ejer Muarah, dalam sebuah upacara pernikahan, Senin (21/2/2022).
Tgk Hamdani menyebutkan empat hal yang harus ditempuh menjadi sakinah mawaddah warrahmah. Di antaranya beribadah kepada Allah. Harus sejajar usaha dan ushalli. Karena ibadah penentu yang kita kerjakan. Kedua berusaha, ketiga bergaul, karena hidup dengan masyarakat di mana kamu tinggal, kemudian juga belajar ilmu agama.
Berbagai petuah penting dalam menjalani kehidupan berumah tangga disampaikan oleh Imem. Seperti tentang keagamaan, tanggung jawab, serta mendoakan keselamatan bagi sang calon pengantin wanita atau dalam bahasa Gayo disebut “Inen Mayak”.
Di posisi tengah para tokoh yang duduk melingkar tersebut, tampak dua buah nampan yang berisi perlengkapan pengantin seperti baju, kerudung dan sepatu. Barang sandang ini akan dikenakan oleh calon pengantin saat akad nikah esok.
Kemudian juga tampak sebuah nampan berisi semangkuk waih (air) bertih (padi yang digongseng), beras, pisang, apem (sejenis kue terbuat dari tepung beras), serta sejumlah jenis rerumputan dalam bahasa lokal disebut dedingin, celala, bebesi dan lainnya. Isi dari nampan tersebut merupakan perlengkapan untuk petaweran (tepung tawar).
Lazimnya yang bertugas melengkapi sejumlah persyaratan adat itu adalah para kaum ibu yang telah dituakan.
Calon mempelai yang bernama Putri Gemasih itu kemudian duduk di tengah dalam posisi dikelilingi oleh serangkai aparat desa, untuk prosesi petaweran (tepung tawar) yang dilakukan oleh kaum ibu yang dituakan di desa tersebut.
Setelah prosesi tepung tawar dan membaca doa, suasana haru biru dalam acara berguru ini terjadi, sambil shalawat bersama. Putri mulai tidak mampu menahan air matanya. Keharuan semakin menyeruak ketika kemudian Putri bersalaman dan memeluk kedua orangtuanya serta memohon izin dan restu untuk pernikahannya.
Kedua orangtua pun tak mampu menahan air mata saat menyalami dan memeluk anak pertamanya itu. Putri akan segera lepas dari tanggung jawab keluarganya dan menempuh hidup baru bersama pasangannya di kemudian hari. Begitu juga dengan sanak family, sahabat, dan para tetangga yang hadir, ikut terharu. Isak tangis mengiringi acara berguru tersebut.
Kemudian calon mempelai akan mengitari ruangan sambil bersalaman kepada semua orang yang hadir pada prosesi ini dan memohon restu. Begitulah serangkaian acara adat berguru di daerah Dataran Tinggi Gayo, daerah penghasil kopi yang berhawa sejak itu. Upcara seperti itu sudah dilaksanakan secara turun temurun, dan hingga saat ini masih dipertahankan. (Cut Nauval Dafistri)
Sumber: Waspada Aceh