Anak Beru dalam Tradisi dan Budaya (Edisi I)

0
2691

Oleh: Jamhuri Ungel, MA

Anak beru dalam bahasa Gayo sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan anak gadis, kemudian dalam bahasa arab lebih dikenal dengan istilah al-bikr, yakni anak perempuan yang belum menikah dan telah melewati masa usia anak-anak.

Usia ini diawali dengan balighnya si anak dan diakhiri dengan usia menikah, yang dalam istilah al-Qur’an disebut dengan “balaghun nikah” Jadi secara angka batasan berakhirnya usia beru tidak jelas karena dikaitkan dengan keadaan yakni menikah.

Dalam budaya Gayo anak beru tidak lagi tidur bersama orang tua atau ibunya, tetapi dia mulai tidur bersama bibik adik ayah atau dengan neneknya, karena pada usia yang beranjak dewasa ini kemali (dilarang) tidur bersama atau dekat dengan orang tua.

Kemudian pada usia ini anak sudah mulai belajar mengenal dirinya dan sudah mulai belajar melihat kehidupan masa depan, yang sebelumnya bergantung pada orang tua, tapi secara perlahan dilatih bergantung pada orang lain, yaitu melalui pembelajaran dari orang-orang yang lebih dewasa, yakni bibiknya yang juga belum menikah dan dengan neneknya bila bibiknya telah menikah.

Di dalam kitab-kitab fiqh, ulama berpendapat, anak perempuan ketika mendekati masih baligh atau ketika sudah baligh dianjurkan lebih dekat dengan ibunya, karena mereka harus belajar tentang dirinya dari ibunya dan tidak mungkin didengar dari orang lain dan kalau didapat dari orang lain maka tidak sedetil yang didapat dari ibunya.

Seperti bagaimana ia harus mempersiapkan diri ketika datang haidh dan dia harus mengetahui tentang apa itu haidh, lalu sebelum datang masa itu dia harus juga mengetahui tanda-tanda yang ada pada dirinya, supaya dia tidak merasa takut tentang sesuatu yang terjadi pada dirinya.

Peran ibu dalam masyarakat budaya, utamanya masyarakat Gayo dalam beberapa hal tetap menjadi kewenangan ibu sebagai orang tua, tetapi juga sebagiannya berpindah kepada bibik sebagai orang yang lebih dewasa dan berpengalaman mengurus dirinya, yang selanjutnya pengalamannya bisa ditularkan kepada keponakan yang sedang mengalami perubahan dalam diri untuk menuju masa dewasa.

Pengetahuan lain selain dari ibu dan bibik ditemukan dari nenek yang selalu menjadi teman tidur anak beru, karena dalam tradisi masyarakat Gayo seorang nenek sebelum tidur biasa menganyam tikar (nayu), pengetahuan menganyam tidak dipelajari olah anak beru dari neneknya.

Anak beru belajar dari ibu tentang aktivitas harian yang harus dilakukan, mulai dari pagi menyiapkan makanan untuk ayah dan adik-adik atau abangnya, membersihkan rumah dan halaman, mencuci pakaian sampai kepada mempersiapkan makanan sore/malam untuk bapak dan ibu yang pulang bekerja dari kebun atau sawah.

Anak beru selain mendapat pewarisan adat dan budaya dari orang-orang yang telah disebutkan juga mendapatkan pengetahuan agama dari tengku-tengku melalui pengajian. Karena setiap kampung mempunyai tengku yang dirumahnya disiapkan untuk tempat mengaji bagi anak-anak dan remaja kampung.

Di tempat itulah anak beru mendapatkan ilmu agama yang dijadikan sebagai bekal dalam kehidupannya masa depan.[SOURCE]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here